Kentang Glowing, Riset Dosen di Bidang Pertanian Yang Jadi Harapan Sumbar
Kemarin sore saya dikunjungi teman masa SMA yang hari ini berprofesi sama. Sebenarnya agak sungkan juga menyebut sama dengan akademisi satu ini, sebab bingkai prestasi antara kita berdua mutlak jauh berbeda. Tapi tak apa, semoga ini menjadi sebentuk do'a dan motivasi agar bisa menteladani pencapaian dan pengabdian beliau untuk kemajuan pendidikan dan ilmu pengetahuan di Indonesia.
Adalah Dr. Dedet Deperiky, SP., M.Si., yang selepas padatnya kegiatan beliau, tetap menyempatkan hadir dan meluangkan waktu untuk diskusi kopi di Universitas Fort De Kock. Sore itu, Dedet tak sendiri, Ketua Prodi Kewirausahaan Universitas Taman Siswa (Unitas) Padang ini turut membawa serta Dr. Gus Andri, SE., MM. (Ketua Prodi Magister Manajemen Unitas) dan Yuni Chandra, SE., MM (Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unitas). Jelas, makin berisi lah diskusi sore ini!
Kita mulai perbincangan dengan sekelebat cerita masa SMA, sebuah frame waktu paling indah menurut kebanyakan orang sampai terpatri pada lirik lagu "tiada masa paling indah, masa-masa di sekolah". Setelah beberapa seruput kopi, diskusi mulai dibuka dengan konsep kolaborasi riset oleh Pak Dekan. Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka yang digulirkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi sejatinya menuntut insan akademis untuk banyak berkolaborasi. Menurut beliau, bicara spesialisasi saat ini tak lagi relevan sebab zaman menuntut penyelesaian masalah melalui kombinasi berbagai macam disiplin ilmu sekaligus.
Permasalahan di bidang ekonomi juga membutuhkan pendekatan sosial, pendekatan teknologi bahkan keagamaan. Begitu pula permasalahan dan tantangan di bidang pertanian yang akan lebih cepat penyelesaiannya jika ada kolaborasi antara ilmu pertanian dan ilmu lain seperti penerapan teknologi. Kolaborasi lintas ilmu inilah yang telah dilakukan Dr. Dedet beberapa tahun terakhir melalui Inovasi pembibitan kentang aeroponiknya.
Aeroponik merupakan metode bercocok tanam di udara tanpa menggunakan tanah, sehingga kentang aeroponik yang dibudidayakan oleh Dr. Dedet dibiarkan tergantung tanpa adanya tanah sebagai media tanam. Dalam budidaya aeroponik, proses pemberian nutrisi tanaman dilakukan dengan penyemprotan cairan secara berkala langsung ke akarnya. Penyemprotan bertekanan tinggi tersebut akan terlihat seperti embun yang akan membantu menjaga suhu lingkungan budidaya sehingga tanaman terlihat selalu segar.
Dalam penerapannya, Dr. Dedet mengkombinasikan ini dengan sistem robotik yang dibekali berbagai macam sensor. Tahun lalu, saya sempat berkunjung ke Lahan Aeroponik yang beliau kelola dan melihat langsung bagaimana tanaman kentang dibudidayakannya. Dari pengamatan saya, budidaya aeroponik ini sangat mampu mengurangi peran manusia sebab hampir semua lini proses pertanian telah ditangani oleh perangkat komputer dan elektronik. Tak seperti pola budidaya konvensional yang mengharuskan petani banyak interaksi dengan pacul serta tanah, di lahan aeroponik ini tak ada aktivitas yang akan membuat petani terkesan kumuh. Bayangkan saja, sebuah bangunan khusus disiapkan untuk dijadikan lokasi budidaya. Kemudian bibit tanaman kentang ditempatkan sedemikian rupa pada media tanam dengan instalasi aeroponik nan canggih. Selanjutnya proses perawatan, pemberian nutrisi dan sebagainya akan dilaksanakan dengan otomatisasi dari perangkat yang telah diprogram.
Dengan perlakuan yang canggih tersebut, terang saja pertumbuhan umbi kentang akan bisa terpantau langsung dan bersih sebab tak ada tanah yang melekat di sana. Ini yang membuat Dr. Dedet menamainya sebagai kentang glowing, sebab umbinya terlihat klimis dan bersinar. "Jangan lagi sebut ini kentang tergantung, sebut saja kentang glowing", ujar beliau.
Keunggulan lain dari metode aeroponik adalah jarak tanamnya yang bisa jauh lebih rapat dibanding pola konvensional. Hal ini tentunya membuat produktivitasnya akan jauh lebih tinggi pula. Namun memang, saat ini teknologi aeroponik masih tergolong cukup anyar dan berbiaya mahal. Menyikapi risetnya yang berbiaya tinggi ini, Dr. Dedet menyampaikan bahwa ada banyak pembiayaan yang tersedia dan dapat dimanfaatkan oleh peneliti. Sepanjang dampak dan manfaat penelitian itu besar, maka peluang pendanaan itu amat terbuka. Awardee LPDP ini juga menceritakan bagaimana risetnya dibiayai miliaran oleh program Matching Fund. Masa ini, telah ada beberapa instalasi aeroponik kentang yang berjalan seperti di Kabupaten Solok dan Kabupaten Agam. Tanpa pembiayaan yang memadai, tentu berat untuk pengembangan riset seperti ini, yang penting dampak dan kebermanfaatannya jelas, maka sumber pembiayaan tak perlu risau, pungkasnya.
Rasanya tak berlebihan jika kita sebut ini sebagai harapan bagi Sumatera Barat yang memang menjadikan pertanian sebagai salah satu andalannya. Budidaya kentang aeroponik yang digagas Dr. Dedet ini telah menyabet banyak apresiasi dan penghargaan dari pemerintah baik di tingkat lokal hingga nasional. Keinginannya menjadikan Sumatera Barat sebagai pusat benih kentang nasional rasanya semakin hari semakin wujud. Sebab selain aktif dalam pengembangan riset, acap kali doktor muda ini diminta pendapat dan aksinya dalam penerapan teknologi memajukan pertanian pada Kabupaten dan Kota di Sumatera Barat.
Diskusi singkat kami kemarin rasanya perlu untuk dibagikan ke lebih banyak orang. Bagaimana kolaborasi antar lintas disiplin ilmu mampu meningkatkan nilai manfaat produk riset dan menyelesaikan lebih banyak permasalahan. Mengambil contoh yang telah dilakukan Dr. Dedet yang membuat kolaborasi antara ilmu pertanian dan teknologi untuk melahirkan kentang glowingnya. Semoga saja ke depan akan lebih banyak kolaborasi sehingga swasembada tak lagi sekadar wacana, pun petani berjaya tak sampai di ruang cita-cita, apalagi sebatas janji semasa kampanye untuk meraup suara. Eeeh, mau pilpres dan pilkada 😉
Tidak ada komentar untuk "Kentang Glowing, Riset Dosen di Bidang Pertanian Yang Jadi Harapan Sumbar"
Posting Komentar